Minggu, 02 Agustus 2009

KOMPLAIN

KOMPLAIN


Tentu kita masih ingat kasus Prita yang menghebohkan itu ? Yang membuat Capres Jusuf Kalla serta Megawati Soekarnoputri tertarik untuk turun tangan. Lantas Komisi IX DPR RI pun tergelitik sampai lantang bersuara dengan merekomendasikan agar perijinan Rumah Sakit itu ditinjau kembali. Bahkan kalau perlu Rumah Sakit Omni International itu ditutup. Kemudian masih adanya berbagai kecaman dari lapisan masyarakat secara pribadi maupun kelompok. Betapa kasus Prita Mulyasari itu sempat menyita perhatian publik Indonesia, bahkan sampai menarik perhatian dunia Internasional.

Semua itu berawal dari keluhan Prita terhadap pelayanan RS.Omni International Tangerang. Karena Prita merasa pelayanan Rumah Sakit Omni itu tidak memenuhi harapannya, seperti yang dikehendaki Prita sebagai konsumen yang telah memenuhi kewajibannya dengan membayar. Lantas dia menulis keluhan ( Komplain ) nya itu di sebuah millis ( melalui email ) kapada teman dekatnya.

Persoalan mulai muncul dan membesar ketika keluhan Prita itu tersebar luas tanpa terkendali. Entah siapa yang mulai menyebarkan tulisan itu, konon katanya sampai saat ini peneluurannya masih ruwet. Pihak RS.Omni merasa keberatan dengan tulisan itu, yang dianggap sebagai pencemaran nama baik. Dari sanalah genderang perang itu mulai digemakan…


Komunikasi

Komplain atau keluhan itu sebenarnya merupakan bagian dari bentuk “ Komunikasi “. Sebuah informasi tentang ketidaksesuaian yang dirasakan pihak kedua yang menerima sebuah jasa atau produk. Oleh karena itu, Komplain atau keluhan itu sebenarnya dibutuhkan , karena komplain akan menghasilkan sebuah informasi. Entah informasi positif atau informasi negatif. Bahkan komplain itu merupakan sebuah komunikasi aktif yang bisa menjurus kedalam sebuah “ interaksi “.

Cermatilah komplain atau keluhan itu dari sudut pandang ilmu komunikasi,.Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengelola komplain itu sebagai mana mestinya. Menempatkan komplain sebagai bagian dari komunikasi, dan tidak menjadikan komplain sebagai musuh atau monster yang mengerikan.

Kalau kita sudah memahami kaidah komplain yang sebenarnya, maka akan muncul pemahaman positif serta akan menjadikan sebuah “ Manajemen komplain “ yang baik. Tidak akan menggusur serta memporak - porandakan bangunan komunikasi yang telah terbentuk.

Komunikasi memang bisa muncul dari berbagai arah..Bisa bersifat Vertikal ( Top Down atau Bottom Up ) , atau Horisontal ( sejajar dan linier ). Serta memungkinkan bahwa komunikasi itu muncul dalam bentuk tanpa pola. Sulit diduga dan sulit diprediksi. Tetapi bagaimanapun juga komunikasi yang baik sangat menentukan keberhasilan sebuah organisasi.


Dibutuhkan

Komplain itu kadang dibutuhkan, ditunggu – tunggu, dinanti dan diharapkan…tetapi terkadang komplain itu menjengkelkan..memuakkan dan menakutkan.

Ketika kita mengukur kepuasan pelanggan ( Customer Satisfaction ), guna melakukan evaluasi kinerja organisasi , kita menyebarkan Angket, Questioner, menerbitkan beberapa pertanyaan, dll dengan harapan kita akan mendapatkan masukan yang positif atau negatif.

Lihat saja Hotel yang baik, pasti di meja kamarnya tersedia sebuah Form Evaluasi guna menampung masukan, keinginan konsumen, bahkan sebuah komplain sekalipun. Harian Nasional Kompas secara berkala setahun sekali menerbitkan angket dua halaman penuh guna mengetahui sejauh mana keinginan konsumen. Artinya dalam angket itu tidak terlepas kemungkinan adanya komplain yang dibutuhkan.

Bahkan sebuah organisasi Product Development ( PD ) ketika akan merampungkan hasil risetnya, dia pasti membutuhkan masukan dalam bentuk apapun, dengan cara membuat Panel Test.

Masukan dari panelis ( responden ) sangat menentukan keputusan apakah produk hasil riset itu bisa diterima konsumen atau tidak. Panelis disini dibuat agar me representasikan dan mewakili konsumen.

Kesimpulan dari semua masukan panelis baik hal yang positif maupun negatif akan menentukan tindak lanjut dari produk hasil riset terebut. Produk hasil riset itu diteruskan, dilakukan reformulasi, atau bahkan dianggap gagal.

Dari perspektif komunikasi, terlihat jelas bahwa masukan panelis itu bisa berupa komplain. Karena secara harafiah pengertian komplain itu bisa diartikan keluhan. dan masukan.

Terbukti disini bahwa Komplain itu meski kadang dicaci, tetapi tetap dicari. Sehingga menghindari sebuah komplain merupakan langkah keliru dan tidak berwawasan ke depan.


Sikap

Langkah bijaksana dalam menghadapi Komplain dari konsumen adalah, tidak panik, tidak buru – buru menanggapi ( reaktif ), tidak menyepelekan, memposisikan sebagai pendengar yang baik, serta segera mengambil tidakan yang benar dengan melakukan koordinasi terhadap pihak – pihak yang berkompeten.

Jangan alergi serta apriori terhadap si pemberi komplain. Dekati, rangkul dan perlakukan mereka bak seorang anak kecil yang butuh perhatian. Dengarkan segala keluh kesahnya dengan hati yang tulus, ambillah esensi dari keinginan mereka, barangkali dari segala ungkapan kekesalan hatinya terdapat kebenaran sejati.

Yang perlu diwaspadai adalah niat dari si pembuat komplain. Apakah dia serius dalam memberikan komplain ? Serta dia berniat memberikan masukan dan kritik yang membangun ? Ataukah ada niat jahat dari komplain itu , dengan mengambil keuntungan terhadap situasi yang buruk seperti halnya mengail di air keruh. Mungkinkah komplain itu adalah suatu skenario yang didesain dari pihak kompetitor ? Dengan membayar pihak

pihak tertentu agar melakukan komplain ? Semua itu mungkin dan bisa saja terjadi. Serta sebuah keniscayaan. Disinilah kejelian, kewaspadaan serta intuisi kita diuji. Perlu adanya pemahaman dengan penuh seksama dalam menghadapi sebuah komplain.

Yang perlu di bawa dalam menghadapi sebuah komplain adalah “ product referens “ jika yang dikomplain itu sebuah produk, atau Standar Practice jika yang dikomplain itu sebuah jasa.Dan jangan lupa, bawalah data – data pendukung secara lengkap.

Tetapi yang paling utama adalah sikap kita dalam menghadapi sebuah komplain. Jika kita gagal dalam menyikapi sebuah komplain, maka nama besar perusahaan dipertaruhkan dengan segala – galanya.

Ajaklah si pengomplain itu mencari solusi. Mintailah pendapat mereka..catat baik – baik apa keinginan mereka, harapan mereka. Dan bicarakan tindakan perbaikan ( Corective Action ) itu dengan pihak – pihak yang berkompeten menangani. Dan komunikasikanlah kepada si pengomplain jika kita telah melakukan sebuah tidakan perbaikan. Ikatlah si pengomplain itu dalam sebuah komunitas, karena sesungguhnya mereka – mereka itu adalah konsumen yang sangat loyal.

Jangan menggurui, sok pintar dan menyalahkan pengomplain. Karena sikap seperti itu yang akan merusak hubungan antara produsen dan konsumen. Sehingga akan timbul kesan arogansi sebuah perusahaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar