Minggu, 02 Agustus 2009

Subsidi Minyak Tanah dan Konversi Elpiji, Cuma akal-akalan

. Subsidi Minyak Tanah dan Konversi Elpiji, Cuma akal-akalan

Sekian tahun yang lalu, rakyat masih menikmati harga premium sekitar Rp 2.500 per liter. Rakyat agak bahagia, tetapi konon katanya pemerintah menderita. Karena pemerintah harus menganggarkan sekian trilyun rupiah sebagai bentuk subsidi. Dan demi menyelamatkan kondisi keuangan negara, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak bijaksana yaitu melepaskan harga premium sesuai patokan pasar tanpa subsidi dari pemerintah. Sehingga harga preminum melejit menjadi Rp.4.500 perliter. Rakyat yang menderita.Tetapi pemerintah bahagia.

Ketika kebijakan itu mendapatkan perlawanan sengit dari berbagai elemen masyarakat,dengan lincahnya pemerintah mengeluarkan program BLT ( Bantuan Langsung Tunai ) yang langsung memadamkan demonstrasi dimana-mana. Rakyat seakan terkena sirep serta gendam dari program BLT. Program itu sekarang entah bagaimana selanjutnya, tetapi rakyat terpaksa membeli premium dengan harga baru. Yakni Rp.4.500 perliter. Sebuah strategi yang hebat !! Toh nyatanya sampai saat ini rakyat juga mampu membeli premium. Gitu aja kok dulu ribut. Mungkin seperti itu pikiran si pembuat kebijakan.

Sekian tahun yang lalu, rakyat masih menikmati harga Minyak tanah kurang lebih Rp.2.250 per liter. Dan dari data Pertamina tahun 2006, dengan harga tersebut subsidi pemerintah sebesar Rp 31 Trilyun untuk 10 juta kilo liter.Tetapi jika subsidi itu dialihkan ke elpiji, yang ditanggung pemerintah subsidinya Cuma Rp 17,9 Trilyun per 10 juta kiloliter ( Kompas 08 Agt 07 ).

Sehingga dengan dasar perhitungan itu, serta dasar perhitungan yang lain pemerintah membuat program konversi dari minyak tanah ke elpiji. Dibagikanlah tabung elpiji secara gratis ke beberapa rumah tangga sebagai percontohan, dengan harapan masyarakat agar terbiasa menggunakan gas elpiji, sehingga konsumsi minyak tanah semakin sedikit. Dan ujung-ujungnya subsidi pemerintah semakin ringan. Mungkin itu maksudnya.

Tetapi jangan lupa. Bahwa pengguna minyak tanah itu sebagian besar masyarakat menengah ke bawah. Bahkan kebanyakan masyarakat miskin. Yang tidak paham cara menggunakan kompor gas elpiji dengan benar. Sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk merubah budaya dari kompor minyak tanah ke gas elpiji. Lagi pula, penggunaan gas elpiji itu hanya bisa digunakan untuk kompor gas saja. Sedang minyak tanah tidak hanya digunakan untuk kompor saja. Tetapi bisa digunakan untuk yang lain. Yakni digunakan pada lampu teplok, atau pemicu api saat akan membakar kayu bakar,arang,atau yang lain.Terutama dipedesaan.

Jika program penggunaan elpiji tetap dipaksakan, dan subsidi minyak tanah sudah dicabut, maka harga minyak tanah akan melambung tinggi. Seperti yang saat ini dirasakan. Yang kadang harganya mencapai Rp 4.000 – 5.000 perliter.Itu saja kadang harus antri.

Manakala subsidi minyak tanah benar-benar dicabut, dan rakyat tetap kembali ke pola lama, yakni membutuhkan minyak tanah dibanding elpiji, maka rakyat pun terpaksa akan membeli minyak tanah dengan harga yang sangat tinggi. Sehingga tragedi kenaikan premium akan terulang ke minyak tanah. Yang akan semakin menderita adalah rakyat pedesaan sebagai pengguna minyak tanah yang rutin.Karena harga minyak tanah terlanjur tinggi.Dan pemerintah terlanjur mencabut subsidinya. Ah, pemerintah memang panjang akal.Tetapi nakal….



Tidak ada komentar:

Posting Komentar