Suatu hari, ada seorang anak muda yang sedang gundah, murung, merasa ada beban yang sangat berat dalam hidupnya, mendatangi seorang tua yang sangat bijaksana. Orang tua itu memang mempunyai pandangan hidup yang sangat luas, tinggal di pinggir sebuah desa yang sejuk dan sering menjadi tempat orang – orang meminta saran, pendapat serta solusi dari masyarakat sekitarnya.
Segeralah pemuda tadi menceritakan semua kegalauan yang ada...semua masalahnya diceritakan sampai tuntas...tidak ada yang tersisa sedikitpun...Orang tua itu mendengarkan dengan seksama, mendengarkan dengan bijaksana , hanya sesekali menimpali cerita anak muda tadi.
“ Nak, cobalah minum air ini, dan katakan bagaimana rasanya “ ujar Pak tua itu.
“ Pahit....pahit sekali..............” jawab pemuda itu sambil meludahkan cairan itu dari mulutnya..
Pak tua itu tersenyum, lantas mengajak pemuda itu berjalan ke tepi telaga yang ada di belakang rumahnya. Keduanya berjalan berdampingan, saling membisu dan akhirnya sampailah mereka di tepi sebuah telaga yang bening...airnya sangat tenang dan damai.
Sesampai di tepi telaga itu, Pak tua lantas menaburkan segenggam serbuk pahit yang sama dengan serbuk tadi. Diaduk – aduknya serbuk itu didalam telaga dengan menggunakan sepotong kayu.
“ Coba ambil air telaga ini, dan minumlah “ kata Pak Tua tadi kepada anak muda
Sesaat setelah anak muda tadi meminum air telaga , Pak tua tadi menanyakan kepada anak muda.
“ Bagaimana rasanya ? “
“ Segar “ kata si pemuda
“ Apakah kamu merasakan pahit dengan air itu “ ? tanya Pak tua
“ Tidak “ jawab si pemuda
Pak tua itu tersenyum dengan lemah lembut dan penuh rasa arif. Lantas dirangkulnya si Pemuda itu dengan kasih sayang.
“ Anak muda, dengan baik – baik...Pahitnya kehidupan itu, seperti layaknya segenggam serbuk pahit itu.Tidak kurang dan tidak lebih. Jumlah kepahitan itu sama dan memang tetap akan sama..Tetapi kepahitan itu tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan dirasakan berdasar dengan perasaan tempat kita meletakkannya.”
Jadi, disaat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.
Moral dari cerita tadi jelas mengingatkan kepada kita tentang sebuah kepahitan dan penderitaan. Besar kecilnya penderitaan, berat ringannya sebuah musibah tergantung bagaimana kita menerima penderitaan itu dengan iklas..
Kita selalu merasa tidak beruntung..selalu merasa paling sengsara, paling menderita...Padahal dibalik itu semua, terdapat pesan bahwa seberapa jauh kita bisa menyikapi dan menerima masalah dengan lapang dada.
( ndok-tugurejo 03agt09 )
Hidup yang tenang adalah mereka yang sudah mau mengerti bahwa sebetulnya semuanya telah tercantum dalam rencana Allah, namun ketidak tahuan dan ketidak percayaan diri sehingga semuanya tampak susah dan ribet dan kadang tidak tahan sehingga akhirnya melakukan apa saja asal bisa keluar dari masalah akan tetapi sebenarnya justru makin terjerembab kedalam lubang kesusahan yang lain.
BalasHapusMendekat kepada Sumber Ketenangan adalah solusi seperti Firman yang berbunyi : Ketahuilah hanya dengan mengingat dan mendekat Allah pastilah hati ini akan menjadi tenang.
Salam dari Kebumen,
M.SYAHRI NURWAHAB
Waduh...Pak Dhe ini sudah selayaknya membuat sebuah buku....yang bertutur tentang hakekat kehidupan....dan bagaimana kita seharusnya menghadapi kehidupan ini dengan lebih bijaksana....setuju Pak Dhe ? saya tunggu krentek Pak Dhe untuk membuat buku....
BalasHapusBila perlu undang teman banyak2 biar saling asah dan asuh sesama FPSP, kok masih sepi. Saya kira sudah banyak yg nimbrung. Soal buku ya Insya Allah, doakan saja agar bisa menjadi pelabuhan hati yang selalu mengembara di ruang dan waktu yang tak terhingga.
BalasHapusSalam sukses
M.SYAHRI NURWAHAB